b.u.m.i.p.r.o.s.a

lumbung

grha
teater
aku
jaringan
buku
bumifiksi
bumipuisi
kontak
lumbung
album

Belajar Jadi "Tuhan" : Kiat bagi Penulis Pemula

Oleh: Ahmad Syaifudin

Layaknya sebagai Tuhan yang disembah manusia, seorang sastrawan dapat dikatakan sebagai "Tuhan" yang menguasai duniannya—karya sastra. Pasalnya, ia mampu menciptakan dan menghadirkan sosok manusia dari berbagai karakter. Di samping itu, makhluk hidup lainnya pun ia hadirkan untuk menghiasi dunia ciptaannya dan tak kalah menarik dan indahnya dengan dunia yang dicipatakan oleh Tuhan yang disembah manusia. Secara detail, keindahan dunia yang diciptakannya itu tidak sembarang orang mampu membaca ataupun melihatnya. Sebab hanya orang-orang yang mempunyai keahlian tertentu yang mampu melihat dan membaca keindahan dunia ciptaannya. Meski demikian dalam diri seorang sastrawan tidak sombong dan tidak angkuh dengan manusia yang lain.

Dikatakan dalam quran bahwa Tuhan menciptakan makluknya dengan zat yang berbeda-beda. Manusia Dia cipatakan dari tanah, malaikat dari cahaya, dan iblis atau setan dari api. Begitu juga seorang sastrawan menciptakan manusia (tokoh) dalam dunianya dengan berbagai cara. Ada yang dicipatakan melalui metode diskursif (langsung), metode dramatis, metode kontektual, dan metode campuran (lihat Sayuti 1996:57-70). Berdasarkan faktanya tidak salah jika sastrawan dikatakan sebagai "Tuhan".

Sebagai penulis pemula, hal yang perlu ada dalam dirinya adalah belajar jadi "Tuhan". Dengan cara ini, seorang sastrawan akan lebih handal dan lihai dalam mengolah dan membuat karya satra yang berbobot. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa sastrawan menulis itu berdasarkan ide, gagasan dan pengalaman yang mereka peroleh dari lingkungan ia tinggal. Pendapat itu tidak salah, namun dalam hal kelihaian dan keagungan ihwal penciptaan dunia, Tuhanlah—Sang pencipta jagad raya ini—yang layak menjadi guru. Dialah guru yang maha kaya ilmu pengetahuan. Dengan mengenali dan menganalisis makluk ciptaan-Nyalah dapat dikatakan belajar kepada-Nya.

Ayu Utami dalam karyanya Saman dan Larung bagaimana lihainya ia mengacak-ngacak tatanan pernovelan Indonesia. Gambaran tersebut dapat diperoleh dari kisah yang dicancang oleh tuhan mengenai kisah Nabi Isa a.s. yang telah dipending keberadaannya di atas alam raya ini. Kemudian, ia akan dimunculkan kembali pada batas waktu yang ditentukan oleh Tuhan. Tak heran jika Ayu Utami membuat plot dalam novel Larung seperti plot kisah Nabi Isa a.s. Begitu juga kisah-kisah lain yang dibuat oleh Tuhan yang begitu dahsyatnya.

* * *

Tuhan yang diyakini oleh seluruh umat manusia di dunia ini pada dasarnya memiliki sebuah kitab suci yang dibuat bagi makluk yang menyembahnya. Kitab suci itu digunakan sebagai pedoman atau pegangan hidup bagi makluknya. Hal itu tidak jauh berbeda dengan seorang sastrawan juga mempunyai kitab suci yang digunakan dalam menuntun perjalanan tokoh-tokoh yang telah dibuat oleh sastrawan. Kitab suci itu berupa karya sastra yang ditulisnya. Keberadaan kitab suci juga berada dalam imagi pembaca. Selain itu, kitab suci yang dibuat oleh "tuhan" dapat dianalisis dan ditafsirkan dengan berbagai disiplin ilmu dan berbagai segi.

Quran adalah sebuah karya sastra tinggi yang tak ada tandingannya. Alkisah, Nabi Muhammad SAW mengumandangkan ayat-ayat yang ada dalam Quran dikatakan oleh kaum Arab sebagai penyair. Namun, kehebatan quran tak dapat tertandingi, sebab isinya mengandung ajaran-ajaran yang dapat diambil hikmah-hikmah di dalamnya (bersifat simbolik). Untuk itu, dalam karya sastra terdapat nilai-nilai dan ajaran yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada makhluknya—pembaca. Semakin simbolik karya sastra itu maka dapat dikatakan nilai sastra atau seni dalam karya tersebut adalah tinggi.

* * *

Itulah jiwa yang harus dimiliki oleh sastrawan pemula. Semangat membaja perlu dibina demi hasil yang luar biasa. Syek Siti Jenar saja mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, karena tuhan sudah menyatu dalam dirinya. manunggaling gusti marang dumadi. Jiwa seorang satrawan harus seperti itu. Namun bukan sastrwaan jadi tuhan yang sesungguhnya. Jadilah Tuhan yang dapat mengisi ide kretifitas dan daya kreasi menumbuhkan karya sastra. Syek Siti Jenar telah mencapai taraf yang tinggi sehingga dapat mengatakan dirinya adalah Tuhan. Keadaan itu tidak sewajarnya diterima oleh manusia awam. Tetapi manusia yang mampu mencapai taraf itu akan membenarkan perilaku Siti Jenar. Demikian juga tips yang diberikan oleh cerpenis asal Semarang—Triyanto Triwikromo—bagi penulis pemula adalah buatlah gebrakan-gebrakan dalam dunia sastra layaknya Ayu Utami. Hal itu bertujuan agar tulisan itu dimuat atau diterbitkan oleh peneribit ke publik, bahkan dapat diminati oleh publik. Ketidakwajaran dalam berkreasi dan berseni adalah langkah awal menjadi sastrawan yang sejati.

Feminisme-Lesbian: Sebuah Gerakan Pembebasan Perempuan

Oleh: Ahmad Syaifudin

Berbicara mengenai perempuan, apakah mereka sudah bebas dari kekuasaan manusia yang bernama laki-laki? Pertanyaan itulah selalu menghantui insan berjenis kelamin perempuan. Orang yang berwatak lemah lembut dan mengedepankan rasa ini tetapkah pasrah terhadap kaum laki-laki? Semenjak RA Kartini memerjuangkan emansipasi perempuan, nasib perempuan telah dikatakan bahwa mereka mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. Namun, dalam kehidupan nyata masih saja perempuan masih ditindas oleh kaum laki-laki. Pemerkosaan, seksual, dan masih banyak lagi yang mengarah pada pendeskritan kaum perempuan telah ada di depan mata kita. Untuk itu, muncul suatu gerakan yang menyatakan dirinya tidak butuh dengan laki-laki. Pernyataan yang sangat anarkis ini merupakan sebuah gebrakan dalam dunia perempuan demi menuntut kebebasan atas dirinya.

Kenyataan itu dapat dilihat dalam salah satu novel karya pengarang Indonesia kontemporer yang paling banyak dibicarakan adalah Tarian Bumi karya Oka Rusmini (terbit kali pertama tahun 2000 dan sudah dicetak ulang tiga kali hingga tahun 2002).

Sebagai novel karya pengarang perempuan dengan penokohan utama sosok perempuan, yang tak kalah penting, menarik sikap kecewa ke dalam skala hubungan yang lebih mikro akan menghasilkan gambaran yang lebih menukik pada perubahan dalam kehidupan manusia. Yakni, bagaimana perempuan memahami dirinya sendiri, seksualitasnya, hubungan dengan orang lain, hingga ke soal perkawinan dan keluarga. Dengan kata lain novel ini juga bisa dilihat dalam perspektif bagaimana perempuan mendefinisikan kembali pemberontakannya terhadap dominasi-dominasi yang mencengkeram dan membelenggunya.

Tarian Bumi menceritakan nasib Telaga, perempuan keturunan Brahmana, kasta tertinggi dalam masyarakat Bali, yang menabrak nilai sakral adat karena bersedia dikawini oleh laki-laki Sudra, kasta terendah. Perkawinan itu tentu saja tidak direstui ibunya, Luh Sekar, yang sejak awal mengharapkan anaknya disunting lelaki bangsawan. Sementara oleh ibu mertuanya. Telaga juga tidak sepenuhnya diterima karena kehadiran perempuan Brahmana dalam keluarga Sudra diyakini hanya akan membawa sial. Terbukti, ketika anaknya berusia 5 tahun, suami Telaga meninggal dunia, dan masih banyak hal lain lagi yang berubah pada keluarga suami Talaga sejak kedatangannya. Semuanya itu disebabkan status kebangsawanan Telaga. Oleh karena itu, ia harus meninggalkannya dengan melakukan upacara pamit pada leluhurnya.

Sejak muda, Telaga sebenarnya benci terlahir sebagai seorang putri bangsawan. Terlalu banyak aturan adat yang harus dijalaninya. Lebih-lebih karena ibunya seorang Sudra, yang disunting oleh lelaki Brahmana. Dengan cara penceritaan kilas balik, Oka Rusmini mengungkapkan pergolakan batin Telaga yang kecewa dengan orang-orang yang "menjadi peta kelengkapan pembentukan Telaga sebagai perempuan". Yang terpenting tentu saja Luh Sekar. Pada bagian inilah, muncul tokoh Luh Kenten yang menarik, sahabat terdekat Luh Sekar. Pengarang melukiskan sosok Kenten seperti ini: Semua orang di desa ini tahu, Luh Kenten perempuan keras kepala. Perempuan yang memiliki tenaga sepuluh laki-laki. Tubuhnya sangat kuat dan tegap …Dia memiliki kecantikan yang khas. Dan, …Keakraban Kenten dengan Sekar mengundang isu-isu yang tidak baik.

Isu yang tidak baik itu tergambar dalam sebuah bisik-bisik di warung makan yang sempat didengar sendiri oleh Kenten. Mereka menjalin cinta. Mengerikan. Bagaimana mereka memenuhi kebutuhan mereka sebagai manusia? Apa mereka melakukan persentuhan itu seperti aku melakukannya dengan laki-lakiku? Atas gunjingan tersebut...Kenten hanya bisa menarik napas dan bertanya pada dirinya sendiri. Dosakah dia kalau hanya bisa mencintai dan hanya tersentuh bila memandang tubuh perempuan?Apakah Kenten seorang lesbian? Tak sekalipun istilah itu disebut dalam novel ini. Tapi, jika merujuk pada pengertian lesbianisme yang diberikan oleh kritikus sastra feminis-lesbian, Lillian Faderman, maka bisa disimpulkan bahwa Kenten memang perempuan lesbian. Menurut Lillian, seperti dikutip Soenarjati Djajanegera dalam buku Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar (2000), kata lesbian menggambarkan suatu hubungan dimana perasaan paling mendalam serta kasih sayang terjalin di antara dua perempuan. Hubungan seksual sedikit atau banyak mungkin terjadi di antara mereka atau mungkin sama sekali tidak terjadi. Kedua perempuan itu lebih suka menjalani hidup bersama dan berbagi pengalaman yang sama.

Luh Kenten boleh dibilang merupakan wacana yang relatif baru untuk penokohan perempuan dalam novel Indonesia. Sama-sama perempuan Bali, ia berbeda misalnya dengan tokoh Ni Negari dan Ni Luh Sekreni dalam novel yang telah menjadi salah satu kanon sastra Indonesia, Sukreni Gadis Bali (terbit kali pertama tahun 1936) karya AA Panji Tisna yang serba lemah dan tak berdaya dalam hubungannya dengan keluarga dan laki-laki. Sebaliknya, akibat kekecewaan dengan ayahnya yang dianggap tidak bertanggung jawab karena meninggalkan begitu saja, dengan lantang Luh Kenten berseru kepada Ibunya, "Akan aku buktikan, kita bisa hidup tanpa laki-laki." Dalam literatur feminisme, lesbianisme merupakan salah satu pilar gerakan pembebasan perempuan, seperti diyakini kaum penganut aliran feminisme-lesbian. Dalam laki-laki, lesbian merupakan suatu bentuk pemberontakan karena ia mendefinisikan dirinya dengan bahasanya sendiri dan menolak definisi yang dilontarkan oleh kaum laki-laki, tentang bagaimana perempuan harus berhasrat, bersikap, serta memandang dan menjalani hidup. Menjadi lesbian berarti mencintai dirinya sendiri dan sesama jenis kelaminnya serta menolak dominasi laki-laki, baik dalam seksual maupun politik. Apakah Luh Kenten seorang feminis-lesbian? Lagi-lagi tak ada keterangan yang eksplisit. Namun, justru dengan menampilkannya sebagai sosok yang penuh kemarahan dan begitu memberontak terhadap laki-laki, bahkan mengikrarkan diri akan hidup tanpa laki-laki, bisa disimpulkan bahwa lesbianisme Luh Kenten, lebih dari sekadar prefensi seksual, merupakan sebuah pilihan politik.

Dengan demikian, lesbianisme dalam Tarian Bumi merupakan bagain dari wacana pemberontakan perempuan yang menjadi napas keseluruhan alur cerita. Dengan menampilkan wacana lesbian di tengah-tengah tema pemberontakan perempuan, secara tidak langsung Oka Rusmini telah memberikan tawaran kepada perempuan sebuah bentuk pembebasan yang lain atas budaya patriarki. Lewat tokoh Luh Kenten ia seolah ingin mengulangi pernyataan Jill Johnston dalam Lesbian Nations (1973) bahwa "lesbianisme adalah solusi". Bahwa lesbianisme merupakan pembebasan perempuan dari paksaan dan tekanan patriarki.

Eksistensi Wanita Pengarang : Sebuah “pembelaan” Emansipasi

 

Oleh: Ucik Fuadhiyah

 

Barangkali bukan lagi menjadi sebuah hal yang menarik untuk dibicarakan  ketika pada ‘pasar sastra’ bermunculan sederet nama-nama  kaum adam. Sejak masa Sutan Takdir, Chairil Anwar, JS Badudu,  Umar Kayam hingga Seno Gumira Ajidarma  yang kini menjadi salah seorang penulis produktif, selalu saja ‘kesastraan’ dimeriahkan oleh kaum ini. Betapa pun beberapa penulis perempuan telah lahir sejak masa itu, akan tetapi hanya sebagian saja yang populer. Populer tentu saja dalam arti mampu diterima (dinikmati) baik kaum sastrawan mau pun masyarakat awam penikmat sastra. Namun bagaimana suara publik jika eksistensi dunia sastra perempuan mulai memijar sejak era tahun 2000? Bahkan ketika beberapa ajang penghargaan karya sastra mulai mengakui keberadaan emansipasi perempuan melalui karya-karyanya. Nama-nama semacam Ayu Utami, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu sampai Helvi Tiana Rosa telah membuktikan betapa nafas perempuan itu tak pelik hanya dalam urusan wingking dan hanya menjadikannya objek inspirasi pada tiap karya sastra. Objek? Ya tentu saja itu bukan merupakan ungkapan tanpa pemikiran, namun inilah kenyataannya.

 

Sepanjang perjalanannya, sastra mengalami pelbagai perubahan di setiap unsur. Baik unsur pengarang maupun esensi sastra itu sendiri. Terkait dengan ‘peran’ perempuan, diakui atau tidak memang telah muncul kader  pengarang wanita di dunia sastra kita. Setidaknya dalam beberapa sayembara dan ajang penghargaan sastra. Celakanya, hal ini oleh sebagian orang yang notabene pemerhati sastra dianggap sebuah kegagalan pada hasil penilaian. Sekedar review, pada ajang sayembara penulisan novel beberapa tahun terakhir yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta mencatat beberapa nama-nama perempuan sebagai pemenang. Setelah beberapa tahun sebelumnya Ayu Utami mengawalinya sebagai peraih penghargaan, pada awal 2003 yang lalu kembali event tersebut mencatat nama-nam perempuan, bahkan pada 3 besar tebaiknya. Barangkali Dewi Sartika ( Dadaisme ), Abidah El Khaelaqy ( Geni Jora),  dan Ratih Kumala ( Tabula Rasa ) merupakan satu prestasi tersendiri bagi kaumnya dan wacana baru bagi dunia sastra.

 

Namun sekali lagi, keputusan tersebut menjadi sebuah kotroversi dikalangan sastrawan dan pemerhatinya. Pada perkembangan selanjutnya muncul pula  statemen yang menilai bahwa ini merupakan kegagalan  bagi proses penjurian itu sendiri. Setidaknya bagi Sapardi Joko Damono, Budhi Darma dan Maman S Mahayana  selaku juri dalam sayembara itu, apapun yang dilakukannya dalam memutuskan penilaian adalah sebuah kewenangan. Bahkan ketika beberapa diskusi yang dilakukan, pemerhati mau pun sastrawan kita banyak mengungkapkan statemen kontroversi tersebut. Hal ini muncul kerena anggapan bahwa novel terseut tidak jauh dari luar biasa. Bahkan mereka mempertanyakan pertimbangan unsur apa yang menjadikan novel 3 perempuan ini menjadi peraih penghargaan. Sementara itu  pihak juri tetap mempertahankan keputusannya. Menurut Maman S Mahayana salah satu juri, baik novel Dadisme maupun Geni Jora memiliki terobosan  gagasan  yang inovatif dengan tetap membawa tema feminis dan setting realis maka  layak novel ini menjadi salah satu deretan karya sastra terbaik. Membaca novel ini akan kita temukan betapa dalam cerita ini wanita dengan segala kehidupan dan kelemahannya pengarang begitu berani membuat kemasan sehingga tokoh-tokohnya real cerminan  perempuan yang hidup di era global ini.

 

Apa yang  ada dalam pikiran kita melihat  wacana di atas? Apakah anda perempuan? Laki-laki? Siapa pun anda maka  pasti akan terbesit pada pemikiran kita, khususnya apa sesungguhnya yang menjadi muara pada kontroversi tersebut. Apakah ini sebuah kritik yang menuju pada kemajuan sastra demi sebuah pembaharuan atau sebuah “kecaman” pada karya perempuan?  Sedikit menengok pada aspek sosial budaya,  munculnya nama-nama   perempuan pada satra kita baik novel, cerpen, teater  menjadi contoh sebuah icon  wacana gender yang mulai tumbuh dan ramai dibahas berbagai kalangan. Sulitnya menampilkan kekuatan perempuan di aspek sosial, pendidikan apalagi ekonomi inilah yang mungkin menggugah tekad perempuan menempuh jalan melalui karyanya. Harapannya, perempuan tak lagi melulu sebagai icon konsumen pasif pada kodratnya namun mampu secara poduktif menyalurkan “pembelaannya”. Namun kembali pada persoalan kontroversi adanya pengakuan terhadap karya sastra perempuan, agaknya yang terpenting adalah terlepas karya itu baik atau buruk yang jelas satsra merupakan   apresiasi, imajinasi dan pemikiran murni yang menjadi  hak pengarang sebagai “tuhan” untuk memainkan ciptaannya. Siapa pun pengarang atau pembaca bahkan kritikus satra sekalipun pada hakekatnya tak berhak mengklaim buruk baiknya sebuah karya sastra.  Lalu bagaimana pemikiran kita sebagai penikmat? Silakan berkarya ….

Pertempuran antara Mitos dan Kontramitos

Oleh: Nur Fathiyah Hidayati

I

Kehidupan manusia dan hubungan antarmanusia dengan sendirinya dikuasai oleh mitos yang muncul dalam kehidupan diri manusia. Keberadaan mitos itu dapat kita sukai ataupun benci. Selain itu, dengan mitos kita akan mempunyai suatu prasangka tertentu terhadap sesuatu hal yang dinyatakan di dalamnya. Demikian pula, kita dapat memerkuat bahkan juga dapat meniadakan suatu mitos yang telah ada di masyarakat.

Setiap saat keberadaan mitos akan berbenturan dengan hal-hal yang kadang mendukung ataupun menentang keberadaannya-bergantung penilaian masyarakat pemilik mitos. Kadang muncul mitos baru yang memerkuat dan juga mengganti mitos yang telah ada.

Menurut Northrop Frye, seperti dikutip Umar Junus dalam buku Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar (1985), mitos terbagi menjadi dua yaitu, mitos pengukuhan (Myth of Concern) bila ia bertugas mengukuhkan sesuatu dan mitos pembebasan (Myth of Freedom) atau bisa disebut dengan kontramitos, bila ia bertugas merombak sesuatu.

Hal senada pun dinyatakan oleh Umar Junus dalam buku Mitos dan Komunikasi (1981), jika terdapat mitos yang bertentangan dengan mitos lama, mitos baru ini bisa dianggap sebagai kontramitos. Bagaimanapun dominannya suatu mitos, ia akan selalu didampingi oleh mitos lain yang merupakan kontramitos. Mitos inilah yang dapat dikatakan sebagai mitos yang bersifat terbuka. Artinya mitos yang terdapat pada masyarakat yang benar-benar tertutup sehingga akan ditemui kemutlakan suatu mitos. Dengan begitu, mitos-mitos itu akan ditentang oleh mitos-mitos lain. Inilah yang disebut kontramitos.

Mitos dan kontramitos itu ternyata dapat juga dijumpai pada pementasan teater oleh Teater Satu Indonesia yang disutradarai oleh Heroe Prasetyo. Dalam pementasan teater Mata Morgot Bibir Sarumpaes banyak sekali ditemukan perombakan terhadap mitos-mitos yang sudah dipercaya oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Jawa Tengah pada khususnya. Pementasan teater Mata Morgot Bibir Sarumpaes tersebut bertolak dari cerpen-cerpen Triyanto Triwikromo yang terangkum dalam kumpulan cerpen Malam Sepasang Lampion yang baru diterbitkan tanggal 27 Mei 2004 lalu oleh penerbit buku Kompas. Mata Morgot Bibir Sarupaes dipentaskan saat Pekan Lingua Sastra Indonesia di Area Parkir FBS, Unnes tanggal 15 September 2004, bertepatan dengan hari ulang tahun Triyanto Triwikromo ke-40. Pentas teater yang diperankan oleh tiga orang pemain ini sebenarnya berasal dari tiga cerpen Triyanto, yaitu Morgot, Mata Bibir, dan Sarumpaes yang dirombak sedemikian rupa sehingga melahirkan pementasan teater yang luar biasa.

Mata Morgot Bibir Sarumpaes ini menceritakan tiga orang tokoh masing-masing bernama Shinta, Sarumpaes, dan Morgot. Ketiganya tergabung menjadi satu judul yaitu Mata Morgot Bibir Sarumpaes tetapi masing-masing tokoh mengusung ceritanya sendiri-sendiri. Kalimat yang menjadi penyatu ketiga kisah itu adalah "Aku tak tidur-tidur. Aku tak mati-mati". Hal ini dimaksudkan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kisah Mata Morgot Bibir Sarumpaes ini belum juga terselesaikan, masih dapat ditemui hingga sekarang dan tetap menjadi ganjalan bagi masyarakat. Padahal peristiwa tersebut sudah lama terjadi.

Kisah dimulai dari seorang tokoh bernama Morgot yang ingin mempertahankan tanah kelahirannya karena akan dijadikan sebuah waduk tanpa ganti rugi tanah yang sesuai. Ia mendapat tekanan dari banyak pihak terutama pemerintah. Sayang, usaha Morgot sia-sia. Kedung Ombo, tanah kelahirannya telah tenggelam oleh air. Artinya, secara paksa Morgot digusur oleh aparat pemerintah tanpa imbalan yang pantas sebagai pengganti tanahnya. Apakah masalah penggusuran sekarang telah berhenti? Jawabnya "tidak". Masalah itu setiap tahun masih ada dan seringkali membuat korban laksana Morgot-Morgot yang berjuang mempertahankan tanahnya, tetapi sia-sia hasilnya.

Kemudian tokoh Shinta, istri Rama yang merasa telah dikhianati oleh suaminya sehingga ia pergi ke pelukan Rahwana. Tokoh yang terakhir adalah Sarumpaes, seorang tahanan wanita yang selalu berada di balik perjuangan rakyat-rakyat miskin. Ia mencoba mengingatkan kembali ingatan seseorang bernama Sina tentang perjalanan cinta mereka dan tentang derita-derita orang miskin yang tertindas. Meskipun masing-masing cerita tidak ada kepaduan tetapi dalam pementasan kisah ini tetap menyatu dan menjadi kesatuan yang apik untuk dinikmati.

II

Dalam cerpen Sarumpaes terdapat kalimat yang disebutkan oleh tokoh Sarumpaes sebagai berikut : "Oke Sina, mungkin aku harus mengulum bibirmu berulang-ulang agar kau ingat bahwa kita pernah bercinta sepanjang malam di Sidoarjo, Jakarta, Solo, Padang dan Lampung. Rambutmu mesti ku belai-belai agar seluruh indramu terpusat pada malam-malam terakhir kita di pantai yang dipenuhi ratusan kupu-kupu itu". Walaupun secara tidak langsung menyebutkan telah terjadi hubungan homoseksualitas tetapi dari kalimat di atas dapat disimpulkan bahwa Sina dan Sarumpaes melakukan hubungan sejenis. Homoseksualitas merupakan perasaan tertarik terhadap sesama jenis kelamin, baik dengan maupun tanpa hubungan fisik. Ini merupakan sebuah kontramitos. Hal tersebut didukung oleh Kemala Atmojo dalam bukunya Kami Bukan Lelaki (1986) yang menyatakan bahwa menurut teori baru, homoseksualitas ini tidak dikategorikan sebagai gangguan atau penyakit jiwa. Juga tidak dianggap sebagai deviasi seksual ataupun dalam kelompok parafilia sebab homoseksualitas dianggap salah satu manifestasi seksualitas manusia. Salah satu yang menjadi pertimbangannya adalah hasil penelitian Doktor Alfred Kinsey dan rekan-rekannya. Kinsey mengungkapkan bahwa homoseksualitas pada dasarnya adalah sebuah kontinium seksualitas manusia.

Kisah ini telah merombak anggapan yang telah ada sebelumnya, hubungan seksual dilakukan oleh pasangan dengan jenis kelamin yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Hal ini dimaksudkan untuk membebaskan mereka-mereka yang mengalami keadaan seksual seperti ini yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan orang-orang yang menyukai lawan jenisnya. Mereka tidak sepantasnya untuk disalahkan atau bahkan dikucilkan. Itu adalah tindakan yang tidak adil sedangkan di negara Indonesia hal tersebut terdengar masih sangat aneh dan memandang rendah orang-orang yang melakukan hubungan sejenis. Oleh karena itu melalui kisah ini sebuah kontramitos telah terjadi.

Kemudian cerpen Mata Bibir terdapat kalimat Shinta yang menyatakan seperti ini: "Maka terbanglah jauh-jauh dari hutan ini, Jata. Kabarkan pada Ram: aku menolak pulang ke istana. Aku menolak menjadi perempuan berpayudara kencana jika kesucian cuma dijadikan permadani yang siap diinjak-injak. Katakan padanya: aku telah menjadi perempuan jalang, tetapi aku merdeka dari segala kutuk kehidupan yang cuma menganggap tanduk indahku sebagai barang mainan".

Pada sebuah mitos Shinta dikenal sebagai perempuan yang patuh dan setia pada suaminya, Rama. Namun, dalam kisah ini fakta mitos itu dirombak oleh pengarang. Alhasil, Shinta menjadi seorang perempuan yang setia tetapi merasa dikhianati sehingga ia mencoba melepaskan diri dari kungkungan yang mengekangnya menjadi seorang perempuan yang merdeka dan bebas memilih siapapun yang diinginkan. Menurut mitos yang ada, pria-lah yang berhak memilih dan perempuan hanya bisa menunggu. Apabila ada perempuan yang menentang akan mendapatkan citra buruk dari masyarakat--terlebih dari kaum pria. Untuk itu, mitos yang dipercaya sampai saat ini belum ada perempuan yang benar-benar merdeka lepas dari dominasi kaum pria.

Dengan demikian seperti halnya mitos, kontramitos bisa menjadi sebuah mitos tergantung dari masyarakat itu sendiri. Apabila masyarakat membenarkan kontramitos dan mempercayainya maka muncullah sebuah mitos baru dari kontramitos tersebut.

Feminisme; Sebuah Harapan di Kampung Patriarch

Oleh: Sonosudar Sidik Wajo

              Aku sedang belajar menjadi iblis, Susan.

          Aku akan membakar wajahmu!

(Ucapan Fiona dalam cerpen "Ikan Asing dari Weipa-Nappranum" karya Triyanto Triwikromo [Malam Sepasang Lampion: 103]).

"Anu, Bu... tetapi, Bu..., saya tidak membawa pakaian yang pantas. Saya...."

(Ucapan Lasi dalam novel Belantik karya Ahmad Tohari [Belantik: 35]).

Dalam "Ikan Asing dari Weipa-Nappranum",
Fiona diceritakan sebagai orang Australi
yang pernah belajar tari dan kecapi Sunda di Bandung. Namun, kesundaan rupanya tidak membekas,tampak dari keinginannya untuk melajar menjadi "iblis" dan kelantangannya berkata, "Aku akan membakar wajahmu!"

Di King Cross, kawasan mesum terbesar di Sydney, Fiona biasa menyamar sebagai penari bugil bersama Susan, kekasihnya. Susan merupakan cucu salah satu perempuan pejuang Aborigin yang bergerak melalui bidang seni lukis dan keramik. Tragisnya, sebenarnya Fiona adalah mata-mata yang dikirim untuk membunuh Susan.

Sedangkan Lasi adalah orang Indonesia (Jawa) yang dalam Belantik diceritakan sebagai perempuan kampung yang terseret dalam arus kekuasaan. Sehingga, sifat ketidaklangsungan masih sangat kental dalam dirinya, "Anu, Bu... tetapi, Bu...."

Sebelum terseret arus kekuasaan, Lasi tinggal di Kampung Karangsoga bersama suaminya, Darsa. Kemudian ia pergi ke Jakarta setelah mendapati suaminya berkhianat; menghamili Sipah, seorang gadis anak dukun pijat. Di Jakarta Lasi masuk dalam jaringan bisnis berahi kalangan atas milik Bu Lanting. Ia di jual Bu Lanting kepada Handarbeni, seorang priyayi Jawa. Namun, karena latar hidup yang sederhana, Lasi tidak bisa menikmati kebersamaannya dengan Handarbeni yang serbamudah dan serbamewah.

Lasi: Potret Ketertindasan Perempuan

Dalam karya sastra, Lasi adalah salah satu contoh korban penindasan laki-laki. Perempuan dari Karangsoga itu hanya sekadar menjadi "barang jualan, barang pinjaman," atau "bekal berakhir pekan" laki-laki penguasa.

....

Ya, dulu foto itu dibuat atas gagasan Bu Lanting yang ingin menjual Lasi kepada Handarbeni. Lasi didandani mirip Haruko Wanibuchi, artis Jepang yang fotonya terpampang di sebuah kalender dengan Kimono merah menyala.

....

(Belantik: 34)

....

"Iyalah, Pak Han. Tetapi saya heran, kok Anda mendadak jadi normal? Kok Anda jadi kuno begitu? Mbok gampangan sajalah. Bila Lasi mau dipinjam orang, Anda punya dua pilihan. Pertahankan Lasi dengan risiko berhadapan dengan kekuatan lobi Bambung. Artinya, jabatan Anda sebagai direktur PT Bagi-bagi Niaga serta karier politik Anda sungguh dalam taruhan. Atau serahkan bekisar itu agar kursi Anda terjamin. Alah gampang sekali, kan?"

....

(Belantik: 9)

....

Dan Bambung, sang pelobi besar itu kini hendak meminjam Lasi.

....

(Belantik: 7)

....

Tadi Bambung hanya omong dalam gaya serba tersamar, namun tujuannya satu dan amat gamblang. Dia ingin memakai Lasi—bekisar cantik Handarbeni—untuk bekal berakhir pekan.

          ....

          (Belantik: 5)

Dari beberapa pernyataan di atas diketahui bahwa harkat dan martabat Lasi sebagai seorang perempuan sangatlah memprihatinkan.

Merobek Jaring Patriarkhi

Millet mengatakan bahwa sebab penindasan terhadap perempuan adalah patriarkhi. Oleh sebab itu, kultur yang berelasi dengan patriarkhi seharusnya dibasmi, atau paling tidak, kultur itu harus didekontruksi—agar para patriarch itu menjadi sadar bahwa selama ini mereka telah menyengsarakan perempuan.

Akan tetapi, bukanlah pekerjaan yang sederhana membasmi atau mendekontruksi kultur yang telah lama hidup, apalagi jika selalu dijaga turun-temurun oleh patriarch-patriarch yang sudah gaek dan kenyang pengalaman. Patriarch-patriarch yang selalu mendaur ulang kaidah-kaidah kulturnya—yang antara lain dapat diketahui dari karya-karya tulisnya. Pantun, gurindam, atau pun parikan, misalnya, merupakan salah satu petunjuk "bagaimana kultur itu sebenarnya". Bentuk-bentuk ketidaklangsungan terus-menerus dirajut menjadi jaring-jaring yang memerangkap eksistensi setiap individu masyarakat. Dan, juga dipakai dengan jitu oleh patriarch-patriarch untuk menyubordinasi perempuan. Sehingga, mereka pun menjadi gagap berartikulasi.

Harapan yang pernah muncul pada awal kemerdekan—ketika Chairil Anwar menghunuskan "sastra modern"—pada kenyataannya belum merobek jaring-jaring itu dengan tuntas. Dominasi laten laki-laki melalui, menurut istilah Millet, "ideologi seksis" masih terus merajalela. Laki-laki penulis memaksakan ideologinya dengan menyamaratakan pembaca seolah-olah mereka adalah laki-laki semua.

Konsekuensinya, pada suatu waktu dalam karya sastra muncul tanda-tanda kekurangterimaan.

....

Rafael, kenapa dunia menjadi semakin serakah? Orang-orang mencuri kepedihan orang lain untuk dijadikan uang, dengan membuat cerita. Para sastrawan telah mendzalimi kaumku. Mereka memerah untuk uang. Kau tahu lelaki muda gondrong itu, dia bahkan sok lebih tahu daripada kami. Hanya untuk nama besar dan uang. Brengsek bukan? Ah entahlah.

....

Sementara Diwan Laksono, sastrawan gadungan yang mencelaku semakin asyik menembakku dengan apologinya, ya dia yang mencuri ideku dulu. Ya benar sekali, dia yang menjual cerita dengan manyapiperah kaumku. Brengsek bukan? Kau sudah seminggu di Indonesia, wartawan pasti mencium keberadaanmu, kalau mereka datang padamu, que dites-vous?

....

(Garis Tepi Seorang Lesbian: 16-17)

....

Laki-laki! Absurd! Ngomong-ngomong, kamu masih lelaki bukan? Maaf kalau ucapanku menyinggung kemaluanmu, eh, kelakianmu maksud aku!

....

(Garis Tepi Seorang Lesbian: 19)

Pernyataan-pernyataan Ashoma Paria—tokoh lesbian yang menjalin kasih dengan Rie Shiva Ashvagosa—di atas tidak serta muncul jika ia hidup dalam kultur yang memberi pilihan; bukan kultur yang mengekang perempuan.

....

Dan aku bukanlah manusia dengan pilihan dan hak sendiri, karena ternyata, pada kenyataannya hidupku menjadi sangat dikendalikan oleh orang lain. Sebuah budaya yang memaksa manusianya menjadi pengatur bagi manusia lain, sementara mereka sendiri tidak bisa menentukan pilihan untuk kehidupan mereka sendiri. Ironis.

Sebuah budaya yang tragis. Tentang manusia yang mengalahkan Tuhan penciptanya. Menempatkan sesembahan pada bait terkhir dari sebuah pilihan kehidupan. Ironis.

....

(Garis Tepi Seorang Lesbian: 257)

Sekarang ini dengan banyak bermunculan penulis-penulis yang mengusung feminisme harapan untuk merobek jaring-jaring patriarkhi pun kembali besar. Barangkali salah satu peneguhnya adalah menjauhi ketidaklangsungan-ketidaklangsungan—misalnya, tidak ragu dan malu dalam mendekontruksi epos Ramayana—agar harapan perbaikan nasib perempuan pun elak dari kecil.

@Heroe Prasetyo 2005

Click here to join bloggerians
Click to join bloggerians

Scrolling Text