Feminisme-Lesbian: Sebuah Gerakan Pembebasan Perempuan
Oleh: Ahmad Syaifudin
Berbicara mengenai perempuan, apakah mereka sudah bebas dari
kekuasaan manusia yang bernama laki-laki? Pertanyaan itulah selalu menghantui insan berjenis kelamin perempuan. Orang yang
berwatak lemah lembut dan mengedepankan rasa ini tetapkah pasrah terhadap kaum laki-laki? Semenjak RA Kartini memerjuangkan
emansipasi perempuan, nasib perempuan telah dikatakan bahwa mereka mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. Namun,
dalam kehidupan nyata masih saja perempuan masih ditindas oleh kaum laki-laki. Pemerkosaan, seksual, dan masih banyak lagi
yang mengarah pada pendeskritan kaum perempuan telah ada di depan mata kita. Untuk itu, muncul suatu gerakan yang menyatakan
dirinya tidak butuh dengan laki-laki. Pernyataan yang sangat anarkis ini merupakan sebuah gebrakan dalam dunia perempuan demi
menuntut kebebasan atas dirinya.
Kenyataan itu dapat dilihat dalam salah satu novel karya pengarang
Indonesia kontemporer yang paling banyak dibicarakan adalah Tarian Bumi karya Oka Rusmini (terbit kali pertama tahun
2000 dan sudah dicetak ulang tiga kali hingga tahun 2002).
Sebagai novel karya pengarang perempuan dengan penokohan utama
sosok perempuan, yang tak kalah penting, menarik sikap kecewa ke dalam skala hubungan yang lebih mikro akan menghasilkan gambaran
yang lebih menukik pada perubahan dalam kehidupan manusia. Yakni, bagaimana perempuan memahami dirinya sendiri, seksualitasnya,
hubungan dengan orang lain, hingga ke soal perkawinan dan keluarga. Dengan kata lain novel ini juga bisa dilihat dalam perspektif
bagaimana perempuan mendefinisikan kembali pemberontakannya terhadap dominasi-dominasi yang mencengkeram dan membelenggunya.
Tarian Bumi menceritakan nasib Telaga, perempuan keturunan Brahmana, kasta tertinggi dalam masyarakat Bali, yang menabrak nilai
sakral adat karena bersedia dikawini oleh laki-laki Sudra, kasta terendah. Perkawinan itu tentu saja tidak direstui ibunya,
Luh Sekar, yang sejak awal mengharapkan anaknya disunting lelaki bangsawan. Sementara oleh ibu mertuanya. Telaga juga tidak
sepenuhnya diterima karena kehadiran perempuan Brahmana dalam keluarga Sudra diyakini hanya akan membawa sial. Terbukti, ketika
anaknya berusia 5 tahun, suami Telaga meninggal dunia, dan masih banyak hal lain lagi yang berubah pada keluarga suami Talaga
sejak kedatangannya. Semuanya itu disebabkan status kebangsawanan Telaga. Oleh karena itu, ia harus meninggalkannya dengan
melakukan upacara pamit pada leluhurnya.
Sejak muda, Telaga sebenarnya benci terlahir sebagai seorang
putri bangsawan. Terlalu banyak aturan adat yang harus dijalaninya. Lebih-lebih karena ibunya seorang Sudra, yang disunting
oleh lelaki Brahmana. Dengan cara penceritaan kilas balik, Oka Rusmini mengungkapkan pergolakan batin Telaga yang kecewa dengan
orang-orang yang "menjadi peta kelengkapan pembentukan Telaga sebagai perempuan". Yang terpenting tentu saja Luh Sekar. Pada
bagian inilah, muncul tokoh Luh Kenten yang menarik, sahabat terdekat Luh Sekar. Pengarang melukiskan sosok Kenten seperti
ini: Semua orang di desa ini tahu, Luh Kenten perempuan keras kepala. Perempuan yang memiliki tenaga sepuluh laki-laki.
Tubuhnya sangat kuat dan tegap …Dia memiliki kecantikan yang khas. Dan, …Keakraban Kenten dengan Sekar
mengundang isu-isu yang tidak baik.
Isu yang tidak baik itu tergambar dalam sebuah bisik-bisik
di warung makan yang sempat didengar sendiri oleh Kenten. Mereka menjalin cinta. Mengerikan. Bagaimana mereka memenuhi
kebutuhan mereka sebagai manusia? Apa mereka melakukan persentuhan itu seperti aku melakukannya dengan laki-lakiku? Atas
gunjingan tersebut...Kenten hanya bisa menarik napas dan bertanya pada dirinya sendiri. Dosakah dia kalau hanya bisa mencintai
dan hanya tersentuh bila memandang tubuh perempuan?Apakah Kenten seorang lesbian? Tak sekalipun istilah itu disebut dalam
novel ini. Tapi, jika merujuk pada pengertian lesbianisme yang diberikan oleh kritikus sastra feminis-lesbian, Lillian Faderman,
maka bisa disimpulkan bahwa Kenten memang perempuan lesbian. Menurut Lillian, seperti dikutip Soenarjati Djajanegera dalam
buku Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar (2000), kata lesbian menggambarkan suatu hubungan dimana perasaan paling
mendalam serta kasih sayang terjalin di antara dua perempuan. Hubungan seksual sedikit atau banyak mungkin terjadi di antara
mereka atau mungkin sama sekali tidak terjadi. Kedua perempuan itu lebih suka menjalani hidup bersama dan berbagi pengalaman
yang sama.
Luh Kenten boleh dibilang merupakan wacana yang relatif baru
untuk penokohan perempuan dalam novel Indonesia. Sama-sama perempuan Bali, ia berbeda misalnya dengan tokoh Ni Negari dan
Ni Luh Sekreni dalam novel yang telah menjadi salah satu kanon sastra Indonesia, Sukreni Gadis Bali (terbit kali pertama
tahun 1936) karya AA Panji Tisna yang serba lemah dan tak berdaya dalam hubungannya dengan keluarga dan laki-laki. Sebaliknya,
akibat kekecewaan dengan ayahnya yang dianggap tidak bertanggung jawab karena meninggalkan begitu saja, dengan lantang Luh
Kenten berseru kepada Ibunya, "Akan aku buktikan, kita bisa hidup tanpa laki-laki." Dalam literatur feminisme, lesbianisme
merupakan salah satu pilar gerakan pembebasan perempuan, seperti diyakini kaum penganut aliran feminisme-lesbian. Dalam laki-laki,
lesbian merupakan suatu bentuk pemberontakan karena ia mendefinisikan dirinya dengan bahasanya sendiri dan menolak definisi
yang dilontarkan oleh kaum laki-laki, tentang bagaimana perempuan harus berhasrat, bersikap, serta memandang dan menjalani
hidup. Menjadi lesbian berarti mencintai dirinya sendiri dan sesama jenis kelaminnya serta menolak dominasi laki-laki, baik
dalam seksual maupun politik. Apakah Luh Kenten seorang feminis-lesbian? Lagi-lagi tak ada keterangan yang eksplisit. Namun,
justru dengan menampilkannya sebagai sosok yang penuh kemarahan dan begitu memberontak terhadap laki-laki, bahkan mengikrarkan
diri akan hidup tanpa laki-laki, bisa disimpulkan bahwa lesbianisme Luh Kenten, lebih dari sekadar prefensi seksual, merupakan
sebuah pilihan politik.
Dengan demikian, lesbianisme dalam Tarian Bumi merupakan
bagain dari wacana pemberontakan perempuan yang menjadi napas keseluruhan alur cerita. Dengan menampilkan wacana lesbian di
tengah-tengah tema pemberontakan perempuan, secara tidak langsung Oka Rusmini telah memberikan tawaran kepada perempuan sebuah
bentuk pembebasan yang lain atas budaya patriarki. Lewat tokoh Luh Kenten ia seolah ingin mengulangi pernyataan Jill Johnston
dalam Lesbian Nations (1973) bahwa "lesbianisme adalah solusi". Bahwa lesbianisme merupakan pembebasan perempuan dari
paksaan dan tekanan patriarki.
Eksistensi Wanita Pengarang : Sebuah “pembelaan” Emansipasi
Oleh: Ucik Fuadhiyah
Barangkali bukan lagi menjadi sebuah hal yang menarik untuk dibicarakan ketika pada ‘pasar sastra’ bermunculan sederet nama-nama kaum adam. Sejak masa Sutan Takdir, Chairil Anwar, JS Badudu, Umar
Kayam hingga Seno Gumira Ajidarma yang kini menjadi salah seorang penulis produktif,
selalu saja ‘kesastraan’ dimeriahkan oleh kaum ini. Betapa pun beberapa penulis perempuan telah lahir sejak masa
itu, akan tetapi hanya sebagian saja yang populer. Populer tentu saja dalam arti mampu diterima (dinikmati) baik kaum sastrawan
mau pun masyarakat awam penikmat sastra. Namun bagaimana suara publik jika eksistensi dunia sastra perempuan mulai memijar
sejak era tahun 2000? Bahkan ketika beberapa ajang penghargaan karya sastra mulai mengakui keberadaan emansipasi perempuan
melalui karya-karyanya. Nama-nama semacam Ayu Utami, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu sampai Helvi Tiana Rosa telah membuktikan
betapa nafas perempuan itu tak pelik hanya dalam urusan wingking dan hanya menjadikannya objek inspirasi pada tiap
karya sastra. Objek? Ya tentu saja itu bukan merupakan ungkapan tanpa pemikiran, namun inilah kenyataannya.
Sepanjang perjalanannya, sastra mengalami pelbagai perubahan di setiap
unsur. Baik unsur pengarang maupun esensi sastra itu sendiri. Terkait dengan ‘peran’ perempuan, diakui atau tidak
memang telah muncul kader pengarang wanita di dunia sastra kita. Setidaknya dalam
beberapa sayembara dan ajang penghargaan sastra. Celakanya, hal ini oleh sebagian orang yang notabene pemerhati sastra
dianggap sebuah kegagalan pada hasil penilaian. Sekedar review, pada ajang sayembara penulisan novel beberapa tahun
terakhir yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta mencatat beberapa nama-nama perempuan sebagai pemenang. Setelah
beberapa tahun sebelumnya Ayu Utami mengawalinya sebagai peraih penghargaan, pada awal 2003 yang lalu kembali event tersebut
mencatat nama-nam perempuan, bahkan pada 3 besar tebaiknya. Barangkali Dewi Sartika ( Dadaisme ), Abidah El Khaelaqy ( Geni
Jora), dan Ratih Kumala ( Tabula Rasa ) merupakan satu prestasi tersendiri bagi
kaumnya dan wacana baru bagi dunia sastra.
Namun sekali lagi, keputusan tersebut menjadi sebuah kotroversi dikalangan
sastrawan dan pemerhatinya. Pada perkembangan selanjutnya muncul pula statemen
yang menilai bahwa ini merupakan kegagalan bagi proses penjurian itu sendiri.
Setidaknya bagi Sapardi Joko Damono, Budhi Darma dan Maman S Mahayana selaku
juri dalam sayembara itu, apapun yang dilakukannya dalam memutuskan penilaian adalah sebuah kewenangan. Bahkan ketika beberapa
diskusi yang dilakukan, pemerhati mau pun sastrawan kita banyak mengungkapkan statemen kontroversi tersebut. Hal ini muncul
kerena anggapan bahwa novel terseut tidak jauh dari luar biasa. Bahkan mereka mempertanyakan pertimbangan unsur apa yang menjadikan
novel 3 perempuan ini menjadi peraih penghargaan. Sementara itu pihak juri tetap
mempertahankan keputusannya. Menurut Maman S Mahayana salah satu juri, baik novel Dadisme maupun Geni Jora memiliki terobosan gagasan yang inovatif dengan tetap membawa
tema feminis dan setting realis maka layak novel ini menjadi salah satu deretan
karya sastra terbaik. Membaca novel ini akan kita temukan betapa dalam cerita ini wanita dengan segala kehidupan dan kelemahannya
pengarang begitu berani membuat kemasan sehingga tokoh-tokohnya real cerminan perempuan
yang hidup di era global ini.
Apa yang ada dalam pikiran
kita melihat wacana di atas? Apakah anda perempuan? Laki-laki? Siapa pun anda
maka pasti akan terbesit pada pemikiran kita, khususnya apa sesungguhnya yang
menjadi muara pada kontroversi tersebut. Apakah ini sebuah kritik yang menuju pada kemajuan sastra demi sebuah pembaharuan
atau sebuah “kecaman” pada karya perempuan? Sedikit menengok pada
aspek sosial budaya, munculnya nama-nama perempuan pada satra kita baik novel, cerpen, teater
menjadi contoh sebuah icon wacana
gender yang mulai tumbuh dan ramai dibahas berbagai kalangan. Sulitnya menampilkan kekuatan perempuan di aspek sosial, pendidikan
apalagi ekonomi inilah yang mungkin menggugah tekad perempuan menempuh jalan melalui karyanya. Harapannya, perempuan tak lagi
melulu sebagai icon konsumen pasif pada kodratnya namun mampu secara poduktif menyalurkan
“pembelaannya”. Namun kembali pada persoalan kontroversi adanya pengakuan terhadap karya sastra perempuan, agaknya
yang terpenting adalah terlepas karya itu baik atau buruk yang jelas satsra merupakan
apresiasi, imajinasi dan pemikiran murni yang menjadi hak pengarang sebagai “tuhan” untuk memainkan ciptaannya. Siapa pun pengarang atau pembaca
bahkan kritikus satra sekalipun pada hakekatnya tak berhak mengklaim buruk baiknya sebuah karya sastra. Lalu bagaimana pemikiran kita sebagai penikmat? Silakan berkarya ….
Pertempuran antara Mitos dan Kontramitos
Oleh: Nur Fathiyah Hidayati
I
Kehidupan manusia dan hubungan antarmanusia dengan sendirinya dikuasai
oleh mitos yang muncul dalam kehidupan diri manusia. Keberadaan mitos itu dapat kita sukai ataupun benci. Selain itu, dengan
mitos kita akan mempunyai suatu prasangka tertentu terhadap sesuatu hal yang dinyatakan di dalamnya. Demikian pula, kita dapat
memerkuat bahkan juga dapat meniadakan suatu mitos yang telah ada di masyarakat.
Setiap saat keberadaan mitos akan berbenturan dengan hal-hal yang kadang
mendukung ataupun menentang keberadaannya-bergantung penilaian masyarakat pemilik mitos. Kadang muncul mitos baru yang memerkuat
dan juga mengganti mitos yang telah ada.
Menurut Northrop Frye, seperti dikutip Umar Junus dalam buku Resepsi
Sastra: Sebuah Pengantar (1985), mitos terbagi menjadi dua yaitu, mitos pengukuhan (Myth of Concern) bila
ia bertugas mengukuhkan sesuatu dan mitos pembebasan (Myth of Freedom) atau bisa disebut dengan kontramitos, bila ia
bertugas merombak sesuatu.
Hal senada pun dinyatakan oleh Umar Junus dalam buku Mitos dan Komunikasi
(1981), jika terdapat mitos yang bertentangan dengan mitos lama, mitos baru ini bisa dianggap sebagai kontramitos. Bagaimanapun
dominannya suatu mitos, ia akan selalu didampingi oleh mitos lain yang merupakan kontramitos. Mitos inilah yang dapat dikatakan
sebagai mitos yang bersifat terbuka. Artinya mitos yang terdapat pada masyarakat yang benar-benar tertutup sehingga akan ditemui
kemutlakan suatu mitos. Dengan begitu, mitos-mitos itu akan ditentang oleh mitos-mitos lain. Inilah yang disebut kontramitos.
Mitos dan kontramitos itu ternyata dapat juga dijumpai pada pementasan
teater oleh Teater Satu Indonesia yang disutradarai oleh Heroe Prasetyo. Dalam pementasan teater Mata Morgot Bibir Sarumpaes
banyak sekali ditemukan perombakan terhadap mitos-mitos yang sudah dipercaya oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat
Jawa Tengah pada khususnya. Pementasan teater Mata Morgot Bibir Sarumpaes tersebut bertolak dari cerpen-cerpen Triyanto
Triwikromo yang terangkum dalam kumpulan cerpen Malam Sepasang Lampion yang baru diterbitkan tanggal 27 Mei 2004 lalu
oleh penerbit buku Kompas. Mata Morgot Bibir Sarupaes dipentaskan saat Pekan Lingua Sastra Indonesia di Area
Parkir FBS, Unnes tanggal 15 September 2004, bertepatan dengan hari ulang tahun Triyanto Triwikromo ke-40. Pentas teater yang
diperankan oleh tiga orang pemain ini sebenarnya berasal dari tiga cerpen Triyanto, yaitu Morgot, Mata Bibir, dan Sarumpaes
yang dirombak sedemikian rupa sehingga melahirkan pementasan teater yang luar biasa.
Mata Morgot Bibir Sarumpaes
ini menceritakan tiga orang tokoh masing-masing bernama Shinta, Sarumpaes, dan Morgot. Ketiganya tergabung menjadi satu judul
yaitu Mata Morgot Bibir Sarumpaes tetapi masing-masing tokoh mengusung ceritanya sendiri-sendiri. Kalimat yang menjadi
penyatu ketiga kisah itu adalah "Aku tak tidur-tidur. Aku tak mati-mati". Hal ini dimaksudkan bahwa peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam kisah Mata Morgot Bibir Sarumpaes ini belum juga terselesaikan, masih dapat ditemui hingga sekarang dan
tetap menjadi ganjalan bagi masyarakat. Padahal peristiwa tersebut sudah lama terjadi.
Kisah dimulai dari seorang tokoh bernama Morgot yang ingin mempertahankan
tanah kelahirannya karena akan dijadikan sebuah waduk tanpa ganti rugi tanah yang sesuai. Ia mendapat tekanan dari banyak
pihak terutama pemerintah. Sayang, usaha Morgot sia-sia. Kedung Ombo, tanah kelahirannya telah tenggelam oleh air. Artinya,
secara paksa Morgot digusur oleh aparat pemerintah tanpa imbalan yang pantas sebagai pengganti tanahnya. Apakah masalah penggusuran
sekarang telah berhenti? Jawabnya "tidak". Masalah itu setiap tahun masih ada dan seringkali membuat korban laksana Morgot-Morgot
yang berjuang mempertahankan tanahnya, tetapi sia-sia hasilnya.
Kemudian tokoh Shinta, istri Rama yang merasa telah dikhianati oleh
suaminya sehingga ia pergi ke pelukan Rahwana. Tokoh yang terakhir adalah Sarumpaes, seorang tahanan wanita yang selalu berada
di balik perjuangan rakyat-rakyat miskin. Ia mencoba mengingatkan kembali ingatan seseorang bernama Sina tentang perjalanan
cinta mereka dan tentang derita-derita orang miskin yang tertindas. Meskipun masing-masing cerita tidak ada kepaduan tetapi
dalam pementasan kisah ini tetap menyatu dan menjadi kesatuan yang apik untuk dinikmati.
II
Dalam cerpen Sarumpaes terdapat kalimat yang disebutkan
oleh tokoh Sarumpaes sebagai berikut : "Oke Sina, mungkin aku harus mengulum bibirmu berulang-ulang agar kau ingat bahwa
kita pernah bercinta sepanjang malam di Sidoarjo, Jakarta, Solo, Padang dan Lampung. Rambutmu mesti ku belai-belai agar seluruh
indramu terpusat pada malam-malam terakhir kita di pantai yang dipenuhi ratusan kupu-kupu itu". Walaupun secara tidak
langsung menyebutkan telah terjadi hubungan homoseksualitas tetapi dari kalimat di atas dapat disimpulkan bahwa Sina dan Sarumpaes
melakukan hubungan sejenis. Homoseksualitas merupakan perasaan tertarik terhadap sesama jenis kelamin, baik dengan maupun
tanpa hubungan fisik. Ini merupakan sebuah kontramitos. Hal tersebut didukung oleh Kemala Atmojo dalam bukunya Kami Bukan
Lelaki (1986) yang menyatakan bahwa menurut teori baru, homoseksualitas ini tidak dikategorikan sebagai gangguan atau
penyakit jiwa. Juga tidak dianggap sebagai deviasi seksual ataupun dalam kelompok parafilia sebab homoseksualitas dianggap
salah satu manifestasi seksualitas manusia. Salah satu yang menjadi pertimbangannya adalah hasil penelitian Doktor Alfred
Kinsey dan rekan-rekannya. Kinsey mengungkapkan bahwa homoseksualitas pada dasarnya adalah sebuah kontinium seksualitas manusia.
Kisah ini telah merombak anggapan yang telah ada sebelumnya,
hubungan seksual dilakukan oleh pasangan dengan jenis kelamin yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Hal ini dimaksudkan
untuk membebaskan mereka-mereka yang mengalami keadaan seksual seperti ini yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan
orang-orang yang menyukai lawan jenisnya. Mereka tidak sepantasnya untuk disalahkan atau bahkan dikucilkan. Itu adalah tindakan
yang tidak adil sedangkan di negara Indonesia hal tersebut terdengar masih sangat aneh dan memandang rendah orang-orang yang
melakukan hubungan sejenis. Oleh karena itu melalui kisah ini sebuah kontramitos telah terjadi.
Kemudian cerpen Mata Bibir terdapat kalimat Shinta
yang menyatakan seperti ini: "Maka terbanglah jauh-jauh dari hutan ini, Jata. Kabarkan pada Ram: aku menolak pulang ke
istana. Aku menolak menjadi perempuan berpayudara kencana jika kesucian cuma dijadikan permadani yang siap diinjak-injak.
Katakan padanya: aku telah menjadi perempuan jalang, tetapi aku merdeka dari segala kutuk kehidupan yang cuma menganggap tanduk
indahku sebagai barang mainan".
Pada sebuah mitos Shinta dikenal sebagai perempuan yang patuh
dan setia pada suaminya, Rama. Namun, dalam kisah ini fakta mitos itu dirombak oleh pengarang. Alhasil, Shinta menjadi seorang
perempuan yang setia tetapi merasa dikhianati sehingga ia mencoba melepaskan diri dari kungkungan yang mengekangnya menjadi
seorang perempuan yang merdeka dan bebas memilih siapapun yang diinginkan. Menurut mitos yang ada, pria-lah yang berhak memilih
dan perempuan hanya bisa menunggu. Apabila ada perempuan yang menentang akan mendapatkan citra buruk dari masyarakat--terlebih
dari kaum pria. Untuk itu, mitos yang dipercaya sampai saat ini belum ada perempuan yang benar-benar merdeka lepas dari dominasi
kaum pria.
Dengan demikian seperti halnya mitos, kontramitos bisa menjadi
sebuah mitos tergantung dari masyarakat itu sendiri. Apabila masyarakat membenarkan kontramitos dan mempercayainya maka muncullah
sebuah mitos baru dari kontramitos tersebut.
Feminisme; Sebuah Harapan di Kampung Patriarch
Oleh: Sonosudar Sidik Wajo
Aku
sedang belajar menjadi iblis, Susan.
Aku akan membakar wajahmu!
(Ucapan Fiona dalam cerpen "Ikan Asing dari Weipa-Nappranum" karya Triyanto
Triwikromo [Malam Sepasang Lampion: 103]).
"Anu, Bu... tetapi, Bu..., saya tidak membawa pakaian yang pantas. Saya...."
(Ucapan Lasi dalam novel Belantik karya Ahmad Tohari [Belantik:
35]).
Dalam "Ikan Asing dari Weipa-Nappranum", Fiona diceritakan sebagai orang Australi yang pernah belajar tari dan
kecapi Sunda di Bandung. Namun, kesundaan rupanya tidak membekas,tampak dari keinginannya untuk melajar menjadi "iblis" dan
kelantangannya berkata, "Aku akan membakar wajahmu!"
Di King Cross, kawasan mesum terbesar di Sydney, Fiona biasa
menyamar sebagai penari bugil bersama Susan, kekasihnya. Susan merupakan cucu salah satu perempuan pejuang Aborigin yang bergerak
melalui bidang seni lukis dan keramik. Tragisnya, sebenarnya Fiona adalah mata-mata yang dikirim untuk membunuh Susan.
Sedangkan Lasi adalah orang Indonesia (Jawa) yang dalam Belantik
diceritakan sebagai perempuan kampung yang terseret dalam arus kekuasaan. Sehingga, sifat ketidaklangsungan masih sangat
kental dalam dirinya, "Anu, Bu... tetapi, Bu...."
Sebelum terseret arus kekuasaan, Lasi tinggal di Kampung Karangsoga
bersama suaminya, Darsa. Kemudian ia pergi ke Jakarta setelah mendapati suaminya berkhianat; menghamili Sipah, seorang gadis
anak dukun pijat. Di Jakarta Lasi masuk dalam jaringan bisnis berahi kalangan atas milik Bu Lanting. Ia di jual Bu Lanting
kepada Handarbeni, seorang priyayi Jawa. Namun, karena latar hidup yang sederhana, Lasi tidak bisa menikmati kebersamaannya
dengan Handarbeni yang serbamudah dan serbamewah.
Lasi: Potret Ketertindasan Perempuan
Dalam karya sastra, Lasi adalah salah satu contoh korban penindasan
laki-laki. Perempuan dari Karangsoga itu hanya sekadar menjadi "barang jualan, barang pinjaman," atau "bekal berakhir pekan"
laki-laki penguasa.
....
Ya, dulu foto itu dibuat atas gagasan Bu Lanting yang ingin
menjual Lasi kepada Handarbeni. Lasi didandani mirip Haruko Wanibuchi, artis Jepang yang fotonya terpampang di sebuah kalender
dengan Kimono merah menyala.
....
(Belantik: 34)
....
"Iyalah, Pak Han. Tetapi saya heran, kok Anda mendadak jadi
normal? Kok Anda jadi kuno begitu? Mbok gampangan sajalah. Bila Lasi mau dipinjam orang, Anda punya dua pilihan. Pertahankan
Lasi dengan risiko berhadapan dengan kekuatan lobi Bambung. Artinya, jabatan Anda sebagai direktur PT Bagi-bagi Niaga serta
karier politik Anda sungguh dalam taruhan. Atau serahkan bekisar itu agar kursi Anda terjamin. Alah gampang sekali, kan?"
....
(Belantik: 9)
....
Dan Bambung, sang pelobi besar itu kini hendak meminjam Lasi.
....
(Belantik: 7)
....
Tadi Bambung hanya omong dalam gaya serba tersamar, namun tujuannya
satu dan amat gamblang. Dia ingin memakai Lasi—bekisar cantik Handarbeni—untuk bekal berakhir pekan.
....
(Belantik:
5)
Dari beberapa pernyataan di atas diketahui bahwa harkat dan
martabat Lasi sebagai seorang perempuan sangatlah memprihatinkan.
Merobek Jaring Patriarkhi
Millet mengatakan bahwa sebab penindasan terhadap perempuan
adalah patriarkhi. Oleh sebab itu, kultur yang berelasi dengan patriarkhi seharusnya dibasmi, atau paling tidak, kultur itu
harus didekontruksi—agar para patriarch itu menjadi sadar bahwa selama ini mereka telah menyengsarakan perempuan.
Akan tetapi, bukanlah pekerjaan yang sederhana membasmi atau
mendekontruksi kultur yang telah lama hidup, apalagi jika selalu dijaga turun-temurun oleh patriarch-patriarch yang
sudah gaek dan kenyang pengalaman. Patriarch-patriarch yang selalu mendaur ulang kaidah-kaidah kulturnya—yang
antara lain dapat diketahui dari karya-karya tulisnya. Pantun, gurindam, atau pun parikan, misalnya, merupakan salah satu
petunjuk "bagaimana kultur itu sebenarnya". Bentuk-bentuk ketidaklangsungan terus-menerus dirajut menjadi jaring-jaring yang
memerangkap eksistensi setiap individu masyarakat. Dan, juga dipakai dengan jitu oleh patriarch-patriarch untuk menyubordinasi
perempuan. Sehingga, mereka pun menjadi gagap berartikulasi.
Harapan yang pernah muncul pada awal kemerdekan—ketika
Chairil Anwar menghunuskan "sastra modern"—pada kenyataannya belum merobek jaring-jaring itu dengan tuntas. Dominasi
laten laki-laki melalui, menurut istilah Millet, "ideologi seksis" masih terus merajalela. Laki-laki penulis memaksakan ideologinya
dengan menyamaratakan pembaca seolah-olah mereka adalah laki-laki semua.
Konsekuensinya, pada suatu waktu dalam karya sastra muncul tanda-tanda
kekurangterimaan.
....
Rafael, kenapa dunia menjadi semakin serakah? Orang-orang mencuri
kepedihan orang lain untuk dijadikan uang, dengan membuat cerita. Para sastrawan telah mendzalimi kaumku. Mereka memerah untuk
uang. Kau tahu lelaki muda gondrong itu, dia bahkan sok lebih tahu daripada kami. Hanya untuk nama besar dan uang. Brengsek
bukan? Ah entahlah.
....
Sementara Diwan Laksono, sastrawan gadungan yang mencelaku semakin
asyik menembakku dengan apologinya, ya dia yang mencuri ideku dulu. Ya benar sekali, dia yang menjual cerita dengan manyapiperah
kaumku. Brengsek bukan? Kau sudah seminggu di Indonesia, wartawan pasti mencium keberadaanmu, kalau mereka datang padamu,
que dites-vous?
....
(Garis Tepi Seorang Lesbian: 16-17)
....
Laki-laki! Absurd! Ngomong-ngomong, kamu masih lelaki bukan?
Maaf kalau ucapanku menyinggung kemaluanmu, eh, kelakianmu maksud aku!
....
(Garis Tepi Seorang Lesbian: 19)
Pernyataan-pernyataan Ashoma Paria—tokoh lesbian yang
menjalin kasih dengan Rie Shiva Ashvagosa—di atas tidak serta muncul jika ia hidup dalam kultur yang memberi pilihan;
bukan kultur yang mengekang perempuan.
....
Dan aku bukanlah manusia dengan pilihan dan hak sendiri, karena
ternyata, pada kenyataannya hidupku menjadi sangat dikendalikan oleh orang lain. Sebuah budaya yang memaksa manusianya menjadi
pengatur bagi manusia lain, sementara mereka sendiri tidak bisa menentukan pilihan untuk kehidupan mereka sendiri. Ironis.
Sebuah budaya yang tragis. Tentang manusia yang mengalahkan
Tuhan penciptanya. Menempatkan sesembahan pada bait terkhir dari sebuah pilihan kehidupan. Ironis.
....
(Garis Tepi Seorang Lesbian: 257)
Sekarang ini dengan banyak bermunculan penulis-penulis
yang mengusung feminisme harapan untuk merobek jaring-jaring patriarkhi pun kembali besar. Barangkali salah satu peneguhnya
adalah menjauhi ketidaklangsungan-ketidaklangsungan—misalnya, tidak ragu dan malu dalam mendekontruksi epos Ramayana—agar
harapan perbaikan nasib perempuan pun elak dari kecil.
|