b.u.m.i.p.r.o.s.a

Teater Satu Indonesia

grha
teater
aku
jaringan
buku
bumifiksi
bumipuisi
kontak
lumbung
album

monolog.jpg

I.                   LATAR BELAKANG

Kesenian merupakan memesis dari kehidupan. Kesenian dalam pengertian ini adalah suatu usaha untuk menyalin ‘alam’ ke dalam berbagai macam bentuk kesenian yang diciptakan oleh manusia (Abdullah, 1981:8). Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan mencerminkan identitas lingkungan yang beraneka ragam dan menunjang perkembangan kebudayaan. Pada hakekatnya kesenian merupakan media dan proses bagi manusia untuk belajar dalam hubungannya dengan lingkungan, alam, sosial, budaya, dan Sang Pencipta. Segala nilai yang terangkum di dalamnya dapat menjadi perangkat pengenalan diri dan juga sebagai cermin pribadi manusia.

Selo Sumardjan (1981:19) menyatakan esenian merupakan unsur kebudayaan yang bersumber pada rasa, terutama rasa indah yang ada pada manusia. Oleh karena itu kesenian memberikan rasa yang indah untuk melatih manusia agar lebih peka dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Melalui kepekaan rasa manusia mempunyai kesadaran akan keindahan, kepedulian, dan kecintaan terhadap alam lingkungannya. Lahirnya suatu cipta seni pada hakekatnya merupakan abstraksi kenyataan masyarakat yang dialami oleh seniman kemusian dituangkan kedalam benruk karya. Bentuk karya tersebut meliputi karya lukis, karya musik, karya tari, karya sastra, dan lain-lain.

Monolog sebagai cabang dari seni sastra yaitu drama dan seni pertunjukkan pada umumnya tidak hanya berurusan dengan estetika panggung saja. Gagasan yang hendak dituangkan dalam monolog merupakan refleksi aktual sebuah pemikiran atau sebagai media refleksi pergulatan manusia dalam menciptakan, menumbuhkan, dan mempertahankan pengetahuan serta nilai positif.

Ditrich dalam Play Direction mengemukakan pengertian drama sama dengan pengertian teater, yaitu: drama merupakan sebuah kehidupan nyata ‘drama is a real life’. Drama mengungkapkan konflik manusia, nasib, kegembiraan dan kesedihan, kebangkitan dan kemunduran, dan berbagai macam hal yang lain. Dalam Theatre of the Absurd, Ditrich juga mengemukakan bahwa teater sudah merambah pada masalah-masalah filsafat, ekonomi, sosial, dan politik. Hal senada diungkapkan Rendra, bahwa bagaimanapun juga drama atau teater tidak akan bisa dilepaskan dari isu-isu sosial-politik yang ada di sekitarnya. Dari pendapat di atas diperoleh gambaran yang luas tentang wilayah cakupan drama yang bersumber pada kehidupan.

Monolog dalam fungsinya sebagai ekspresi seni mempunyai kelebihan-kelebihan, yaitu dapat mempengaruhi, melengkapi, dan memperkaya pemahaman seseorang terhadap lingkungan, sosial, politik, agama, budaya, filsafat, dan kreatifitas seni. Untuk itulah monolog harus mempunyai kemampuan memberikan pemahamn kreatif secara sehat sesuai kondisi lingkungan. Seorang aktor akan sulit mengekspresikan dirinya dalam bermain monolog jika tidak mampu berkontemplasi dengan alam lingkungannya. Untuk mengekspresikan diri dalam bermain monolog, seorang aktor harus mampu memahami, menggali, meresapi, dan memikirkan kehidupan alam lingkungannya disamping harus berlatih secara terus menerus. Oleh karena itu pemahaman terhadap seni sastra yaitu drama monolog perlu ditumbuhkan sebagai salah satu upaya memahami kekayaan budaya.

 

II.                 DASAR PEMIKIRAN

Keberadan monolog di Indonesia pada umumnya dan Semarang pada khususnya belakangan ini semakin menurun, baik dari segi penciptaan maupun segi apresiasinya. Hal ini dimungkinkan sedikitnya peminat monolog dan kurang memasyarakatnya seni sastra tersebut sebagai salah satu cabang dari drama. Oleh sebab itu monolog hanya dikenal pada kalangan tertentu.

 Sudah sering kita dengar atau lihat para aktor bermain monolog dengan biaya mereka sendiri dan itu pun akhirnya mereka tonton sendiri pula. Sebab yang menonton mereka adalah dari komunitas mereka sendiri. Masalah keterpencilan monolog di tengah masyarakat semakin kita rasakan saat ini sehingga diperlukan suatu resep dari praktisi drama serta dukungan semua pihak untuk meningkatkan apresiasi dalam upaya pemahaman secara keseluruhan bagi masyarakat. Di samping itu berbagai upaya sosialisasi terhadap monolog perlu diupayakan.

Realitas di atas tentu merupakan hal yang tidak menggembirakan, dan karena itu perlu adanya langkah-langkah yang bersifat pragmatis dalam rangka mendukung iklim kondusif yang kreatif terhadap monolog.

Dalam upaya memasyarakatkan monolog dan meningkatkan apresiasi terhadap monolog. Teater Satu Indonesia Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unnes mengadakan pergelaran monolog sebagai salah satu usaha untuk memasyarakatkan dan meningkatkan apresiasi terhadap monolog.

 

III.               BENTUK KEGIATAN

Kegiatan ini berbentuk pementasan monolog yang diikuti pekerja-pekerja seni atau teater dari berbagai daerah di Jawa Tengah, antara lain: Tegal, Kudus, Jepara, Solo, Kendal, Semarang, dan komunitas-komunitas teater kampus. Nama kegiatan ini adalah PERGELARAN MONOLOG Teater Satu Indonesia 2005.

 

IV.              WAKTU DAN PELAKSANAAN

-     Lab. Teater Jurusan Bahasa & Sastra Indonesia (Gedung B1 FBS Unnes)

    19-23 September 2005

 

V.                 MAKSUD DAN TUJUAN

Kegiatan PERGELARAN MONOLOG Teater Satu Indonesia 2005 ini mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut:

1.      Mengasah kepekaan sosial dan menumbuhkan kreatifitas, aktivitas, dan nalar kritis perkembangan seni teater pada umumnya dan monolog pada khusunya.

2.      Memberikan hiburan yang apresiatif bagi pecinta teater pada umumnya dan monolog pada khususnya.

3.      Mempererat kerjasama dengan komunitas-komunitas teater, baik kampus atau daerah di Jawa Tengah.

4.      Mengumpulkan komunitas-komunitas teater dan aktor-aktor monolog, baik kampus atau daerah di Jawa Tengah.

5.      Mempererat tali silaturahmi dengan pecinta teater.

Untuk yang mempunyai kemauan turut berpartisipasi dalam acara tersebut, klik dibawah ini:

teater satu indonesia

Lava Lamp, Bubbling

@Heroe Prasetyo 2005

Click here to join bloggerians
Click to join bloggerians

Scrolling Text